Monday, May 20, 2013

Prinsip Dasar Perencanaan Bangunan Ramah Lingkungan Ditinjau Dari Teknik Arsitektural



Gerakan Hijau atau green movement berkembang pesat diseluruh dunia yang tujuannya tidak hanya sekedar melindungi sumber daya alam secara umum, tetapi juga pada penerapannya dalam rangka efisiensi penggunaan energi dan air serta meminimalisir kerusakan lingkungan hidup. Demikian juga kesadaran masyarakat dunia tentang lingkungan hidup, khususnya dalam bidang arsitektur, meningkat dengan tajam dalam dekade terakhir ini. Praktek rancang - bangun arsitektur dan industri konstruksi sedikit banyak telah berubah dan bergerak kearah bangunan yang ramah lingkungan, sebagai perwujudan sikap masyarakat yang semakin perduli terhadap lingkungan hidup.
Secara umum, “green building atau bangunan ramah lingkungan yang juga dikenal sebagai konstruksi hijau atau bangunan yang berkelanjutan, mengacu pada struktur dan menggunakan proses yang bertanggung-jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien di seluruh siklus hidup bangunannya : mulai dari penentuan tapak, perencanaan, pelaksanaan konstruksi, penggunaan atau pengoperasian, pemeliharaan, renovasi hingga pembongkarannya.
Bagi seorang arsitek, merancang bangunan ramah lingkungan sesungguhnya adalah sebuah proses. Tujuannya bukanlah untuk menciptakan arsitektur bangunan yang sempurna, melainkan untuk menciptakan arsitektur bangunan yang lebih baik, lebih nyaman bagi penggunanya dengan memperhatikan serta bertanggung-jawab terhadap aspek-aspek lingkungan hidup disekitarnya. Menuju bangunan yang ramah lingkungan dapat dicapai dengan mengukur dampak pada lingkungan luar (bangunan) yang (akan) ditimbulkannya dan membantu memperbaiki lingkungan dalam (bangunan) sehingga menghasilkan rancang-bangun arsitektur  yang lebih bertanggung-jawab terhadap kesehatan dan kenyamanan pengguna bangunan serta lingkungan disekitarnya. Biasanya beberapa aspek yang diperhatikan antara lain : rancangan arsitektur bangunan (baik secara Passive Design maupun Active Design), metodologi membangun, material bangunan, efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air dan life cycle ecological living.
Pendekatan umum yang menjadi prinsip-prinsip dasar bangunan hijau atau perancangan berkesinambungan (sustainable design) dalam konteks rancangan arsitektur yang ramah lingkungan ini meliputi berbagai hal, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Pemilihan lokasi pembangunan di kawasan yang sesuai dengan peruntukan lahan dan telah tersedia jaringan fasilitas umum yang mendasar (misalnya : jaringan jalan,  jaringan listrik, jaringan komunikasi, jaringan drainase, jaringan transportasi umum, jaringan pemadam kebakaran, dll) untuk menghindari terjadinya “urban sprawl” serta menghindari pengurangan area hijau akibat perambahan lahan baru untuk lokasi pembangunan yang baru. Selain itu, pemilihan lokasi yang tepat juga mengurangi carbon footprint melalui kemudahan akses serta ketersediaan fasilitas umum yang memadai bagi pengguna bangunan, baik dari maupun menuju bangunannya.
2.      Rekayasa Iklim Mikro yang dimaksudkan untuk memperbaiki iklim dan suhu pada lingkungan disekitar bangunan yang akan berpengaruh terhadap suhu dalam bangunan, yang dapat ditempuh melalui beberapa cara, antara lain :
·         Disain lansekap yang memadai, baik jenis, jumlah & fungsi masing-masing tanaman, dengan lokasi budidaya lokal yg relatif lebih cocok dengan iklim setempat (ditambah dengan wall garden / taman vertikal, roof garden, balcony plantation & indoor plantation) serta didukung oleh teknologi lansekap yg relatif murah dan sederhana (layering system, biopori, turf-pave, artificial but natural pond, dll) yang juga mengakomodir peresapan air ke dalam tanah terkait penanganan beban banjir setempat (storm water management) serta mengkonservasi air tanah.
·         Pemilihan material penutup atap bangunan yg memiliki nilai albedo / nilai Solar Reflectant Index (Albedo atau Solar Reflectant Index adalah kemampuan suatu material  untuk memantulkan radiasi panas matahari yang diterimanya) yang tinggi, sehingga dapat mengurangi beban pengkondisian udara (cooling load) pada ruang didalam bangunannya.
·         Pemilihan material perkerasan atau penutup non-atap bangunan yang memiliki nilai Solar Absorbtance (Solar Absorbtance adalah kemampuan suatu material untuk menyerap radiasi panas matahari) yang tinggi, sehingga mencegah radiasi panas matahari yang diterimanya tidak direfleksikan ke lingkungan disekitarnya yang bisa mengakibatkan penambahan beban pengkondisian udara atau cooling load pada bangunan disekitarnya.
3.      Penentuan orientasi massa bangunan terkait orientasi matahari, dengan mengusahakan bidang massa terlebar / terbesar bangunan beserta bukaannya mengarah ke utara-selatan, serta bidang massa terkecil / tersempit yang mengarah ke timur-barat dan meminimalisir  bidang bukaan pada arah ini. Hal ini dimaksudkan agar penerimaan beban panas matahari yg terbesar pada arah timur-barat bangunan dapat dikurangi, sehingga beban pengkondisian udara (cooling load) pada bangunan juga berkurang namun penggunaan cahaya alami pada bangunan dapat dimaksimalkan.
4.      Pemilihan material selubung bangunan & teknologi pemasangan yang tepat, yang dapat mengurangi RTTV (Roof Thermal Transfer Value) & OTTV (Overall Thermal Transfer Value) selubung bangunan secara signifikan, sehingga beban pengkondisian udara (cooling load) bangunan dan konsumsi energi listrik berkurang secara signifikan pula. Hal ini dapat ditempuh dengan berbagai cara, antara lain :
·         Meminimalisir bukaan bangunan pada sisi timur-barat, sehingga mengurangi penerimaan beban panas matahari terbesar.
·         Memaksimalkan bukaan bangunan pada sisi utara-selatan, sehingga memaksimalkan penggunaan cahaya matahari pada siang hari, namun meminimalisir penerimaan beban panas matahari.
·         Memaksimalkan penggunaan ventilasi udara silang alami (natural cross ventilation) yang memungkinkan siklus pergantian udara dalam ruang memanfaatkan mekanisme alami, sehingga meminimalisir penggunaan ventilasi mekanik dan mengurangi  penggunaan Air Conditioning untuk pengkondisian udara dalam ruangan.
·         Jika selimut bangunan menggunakan material kaca, sebaiknya dipilih material kaca yang dilengkapi dengan lapisan khusus untuk mengurangi infiltrasi atau transfer radiasi panas matahari (misalnya : Low Emissivity Glass, dll) pada sisi terluarnya dan jika memungkinkan, sebaiknya menggunakan dinding kaca dengan sistem double glazing / double pane, dimana ruang diantara 2 lapis kaca pada dinding / jendela (biasanya diisi dengan gas khusus atau hampa udara) berfungsi sebagai penahan panas atau memerangkap radiasi panas matahari sehingga transfer panas dari luar bangunan ke ruang dalam bangunan berkurang secara signifikan.
·         Menggunakan material penutup atap yang memiliki nilai albedo / Solar Reflectant Index yang tinggi serta menggunakan teknologi konstruksi atap yang dilengkapi dengan lapisan penahan panas (heat insulation).
·         Apabila memungkinkan, sebaiknya dipertimbangkan untuk memanfaatkan bagian atap bangunan sebagai roof garden dan dilengkapi pula dengan teknologi konstruksi atap yang diberi lapisan heat insulation sehingga dapat mengurangi Roof Thermal  Transfer Value (RTTV) bangunan secara signifikan.
·         Apabila memungkinkan, dapat juga memanfaatkan sisi vertikal atau dinding pada bagian eksterior bangunan sebagai taman vertikal (atau lebih umum dikenal dengan vertical garden / wall garden) yang secara signifikan dapat mengurangi infiltrasi radiasi panas matahari ke ruang dalam bangunannya, dsb.
5.      Mengoptimalkan pemanfaatan sinar matahari sebagai sumber cahaya alami utama pada siang hari, melalui pemanfaatan ruang-ruang di bagian kulit bangunan atau perimeter daylight area sebagai ruang-ruang aktif / ruang kerja dan dilengkapi dengan teknologi grouping & sensor pada sistem pencahayaan buatannya, sehingga mengurangi penggunaan artificial lighting atau cahaya buatan pada siang hari.
6.      Menempatkan & menggunakan peralatan listrik yg efisien & efektif pada bangunan, yaitu : disain chiller & sistem AC yang tidak berlebihan, lampu hemat energi, elevator & escalator yang dilengkapi dengan auto-generated system & sleep mode, fitur listrik lainnya yang berbasis hemat energi, dsb.
7.      Memanfaatkan sumber air alternatif, misalnya : menampung air hujan untuk dimanfaatkan sebagai sumber air bersih atau untuk siram tanaman, mendaur-ulang & memanfaatkan kembali air bekas (AC, wudhu, grey-water, dsb) serta jika memungkinkan agar memanfaatkan teknologi daur-ulang air (Water Treatment Plant) yang sesuai dengan kebutuhan bangunan.
8.      Menggunakan fitur-fitur yang hemat pada instalasi air bangunannya, misalnya : faucet / keran yang dilengkapi dengan automation system & aerator yang berfungsi mengurangi dan mengontrol volume keluaran air namun tetap menjaga tekanan air yang keluar relatif sama dengan fitur air yang konvensional, double-flush system pada kloset / WC, dsb.
9.      Memilih material interior bangunan yang ramah lingkungan & sehat, misalnya : cat yang berbasis air & low-Volatile Organic Compounds, menghindari penggunaan material yang berbasis Ozone Depleting Potential, sebisa mungkin memanfaatkan material lama / bekas untuk didaur-ulang dan dipakai kembali (reuse & recycle), tidak menggunakan material berbahan asbestos, merkuri & formaldehyde, memilih material yang sumbernya regional berbasis ramah lingkungan & terbarukan, dsb sehingga kualitas udara dalam ruang dapat terjaga dengan baik yang berdampak positif bagi pengguna ruang dalam bangunannya sendiri.
10.  Pengurangan & penanganan sampah, melalui penerapan prinsip “Reduce – Reuse - Recycle” serta pemilahan sampah untuk kemudian dapat diolah & dimanfaatkan kembali dalam bentuk maupun fungsi yang baru, misalnya : sampah makanan / organik dapat diolah dan dimanfaatkan kembali menjadi pupuk kompos, sampah plastik & kertas dapat diolah & dimanfaatkan kembali menjadi perabotan / peralatan plastik & kertas daur-ulang, dsb.
Prinsip-prinsip perencanaan diatas berfokus terhadap bangunan yang memungkinkan interaksi yang baik antara manusia dengan lingkungan. Konsep ini berkaitan dengan adaptasi rancangan terhadap kondisi alam, urban design dan perencanaan tapak, serta tingkat kenyamanan bangunan yang akan dicapai. Hal ini berkaitan dengan keharmonisan hidup semua konstituen ekosistem: elemen non organik, organisme hidup dan manusia. Prinsip ini tumbuh dari filosofi pemikiran untuk menghargai keberadaan seluruh benda dan mahluk hidup di muka bumi.
Pada akhirnya, untuk dapat merancang bangunan yang ramah lingkungan, seorang perencana / arsitek harus belajar tentang masalah lingkungan hidup. Pendidikan arsitektur atau perencanaan bangunan harus dapat menumbuhkan keperdulian terhadap lingkungan dan memperkenalkan masyarakat kepada etika lingkungan, serta mengembangkan keahlian berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge base on sustainable design). Pengembangan keahlian berdasarkan ilmu pengetahuan adalah penting, tetapi perubahan gaya hidup dan sikap terhadap lingkungan  tidak kalah pentingnya. So, let’s live green, not “looks” green.

No comments:

Post a Comment